Praperadilan penetapan tersangka
Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan

Praperadilan merupakan lembaga yang lahir dari pemikiran untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) agar dalam melaksanankan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang, karena tidaklah cukup suatu pengawasan intern dalam instansi perangkat aparat hukum itu sendiri, namun juga dibutuhkan pengawasan silang antara sesama aparat penegak hukum.

Dasar Hukum Praperadilan

Dasar hukumnya diatur dalam Pasal 77 sampai dengan pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 77 KUHAP:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Sejak adanya putusan mahkamah konstitusi no.21/PUU-XII/2014 adanya perluasan objek praperadilan yaitu pada sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam Putusan MK tersebut, diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Adapun salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenangwenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.

Gugurnya Permohonan Praperadilan

Pasal 82 ayat 1 huruf d

dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

Pasca putusan MK Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.

Objek Penetapan Tersangka Yang Tidak Sah Bukan Yang Pertama

Pada tahun 2015 terdapat putusan nomor 04/pid.prap/2015/Pn.Jkt.sel. salah satu putusan praperadilan dengan objek penetapan tersangka yang tidak sah yang cukup menjadi sorotan publik, permohonan praperadilan dilakukan oleh Budi Gunawan terhadap KPK. Lebih jauh dari itu pada tahun 2012 dengan nomor putusan :38/ Pid.Prap/2012/Pn. Jkt.Sel. bahkan sudah ada putusan yang serupa terhadap penetapan tersangka yang tidak sah, putusan tersebut kemudian dijadikan bukti dalam permohonan uji materiil terhadap perluasan objek pra peradilan

Andika Dwi Amrianto, S.H., C.Me

Referensi

Waruwu, R. P. R., 2018, Praperadilan Pasca 4 Putusan MK. On-line), tersedia di: https://kepaniteraan. mahkamahagung. go. id/index. php/peraturan. html

Purba, Tumian Lian Daya, 2017, “Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka.” Papua Law Journal Vol 1 No 2

Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Praperadilan penetapan tersangka