Pengertian Putusan Hukum Perdata
Putusan Pengadilan Hukum Perdata menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan dalam bentuk tertulis kemudian diucapkan di persidangan.
Konsep putusan yang berbentuk tertulis tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh Hakim. Ini berarti putusan yang diucapkan (uispraak), harus sama dengan yang tertulis (vonis). Bila putusan pengadilan yang diucapkan berbeda dengan yang tertulis, maka yang sah adalah yang diucapkan di depan persidangan. Putusan akhir disini adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam tingkat peradilan terentu. Suatu putusan hakim baru dikatakan sah harus memenuhi minimal dua syarat, yaitu dibuat secara tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Jenis Putusan Pengadilan dalam Hukum Acara Perdata
Secara umum, putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi dua jenis putusan, yaitu bukan putusan akhir (putusan sela) dan putusan akhir.
1. Putusan Sela
Adanya putusan sela ini disebabkan karena terdapat kemungkinan sebelum menjatuhkan putusan akhir, pengadilan menjatuhkan putusan sementara yang berfungsi untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara selanjutnya. Menurut Pasal 185 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 196 ayat (1) Reglement Buitengewesten (RBg), disebutkan bahwa putusan sela ini harus diucapkan di muka persidangan dan tidak dibuat secara terpisah, tetapi ditulis dalam berita acara persidangan. Jika terdapat pihak yang tidak puas atas putusan tersebut maka akan diajukan upaya hukum banding. Menurut Pasal 190 ayat (1) HIR, Pasal 251 Ayat (1) RBg, pengajuan banding atas putusan sela dapat dimintakan banding bersama-sama dengan permintaan banding putusan akhir.
2. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu. Adapun jenis-jenis putusan akhir dibagi menjadi tiga macam putusan, dimana ketiganya memiliki kualifikasi tersendiri yaitu sebagai berikut:
Jenis Putusan Akhir
a. Condemnatoir (Menghukum)
Putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Hukuman semacam ini hanya terjadi pada perkara atau sengketa yang berkaitan dengan perikatan yang bersumber dari perjanjian atau undang-undang. Bentuk prestasi yang harus dilakukan oleh pihak yang dikalahkan adalah “memberi”. “berbuat” dan “tidak berbuat”. Contoh suatu putusan yang bersifat condemnatoir (Menghukum) dalam satu dictum atau amar putusannya “menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada penggugat secara tunai, menghukum kepada tergugat untuk menyerahkan mobil objek sengketa kepada penggugat secara baik-baik bila perlu dengan upaya paksa melalui bantuan aparat negara.
b. Constitutif (Menciptakan)
Putusan yang bersifat menciptakan keadaan hukum baru. Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu dihentikan, atau ditimbulkan suatu keadaan baru, misalnya, putusan pembatalan perkawinan dan putusan pembatalan perjanjian. Dalam putusan konstitutif tidak diperlukan pelaksanaan dengan paksaan karena dengan diucapkannya putusan itu sekaligus keadaan hukum lama berhenti dan timbul keadaan hukum baru.
Bila perkaranya termasuk constiteuse yurisdictie, maka perubahan keadaan hukum tersebut menunggu putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrack van Gewisjsde). Sementara apabila perkara termasuk valuntair yurisdictie, maka putusan itu mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak saat terjadi putusan diucapkan, misalnya putusan terhadap perkara penetapan ahli waris.
c. Declaratoir (Menyatakan)
Putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang disengketakan adalah anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Putusan declaratoir murni tidak memerlukan upaya hukum paksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawan yang kalah atau lembaga lain, sehingga menurut hukum putusan declaratoir hanya mempunyai kekuatan hukum mengikat. Misalnya, anak yang disengketakan adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara A dan B, maka A dan B cukup menaati putusan tersebut.
Riswandha Imawan, S.H.
Referensi
Abdulkadir Muhammad. 2015. Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Afandi. 2019. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Teori dan Praktik. Malang: Setara Press.
Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
