Berlakunya peraturan dalam sistem hukum Indonesia bukan sekadar hasil administrasi birokratis, melainkan instrumen penting untuk menciptakan ketertiban, kepastian hukum, dan keadilan sosial. Namun, tidak setiap peraturan otomatis diakui sah dan berlaku. Untuk dapat dianggap sebagai bagian dari sistem hukum yang hidup dan mengikat, setiap peraturan harus memenuhi tiga pilar utama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Ketiga pilar tersebut adalah: asas pembentukan peraturan, hierarki peraturan perundang-undangan, dan materi muatan peraturan. Pilar-pilar ini menjadi tolok ukur penting agar hukum tidak hanya sah secara formil, tetapi juga relevan dan operasional secara substantif.
Asas Pembentukan Peraturan: Legitimasi dan Konsistensi Hukum
Asas pembentukan peraturan adalah fondasi yang memastikan bahwa suatu norma hukum disusun berdasarkan nilai yang tepat dan proses yang sah. Ada tiga asas utama yang menjadi landasan dalam pembentukan peraturan: asas filosofis, yang mengharuskan peraturan mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan cita hukum konstitusi; asas sosiologis, yang menjamin peraturan relevan dengan kebutuhan masyarakat; dan asas yuridis, yang mensyaratkan adanya dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di samping itu, asas-asas hukum umum juga turut menjaga kohesi sistem hukum nasional, seperti lex superior derogat legi inferiori (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah), lex specialis derogat legi generalis (aturan khusus mengesampingkan aturan umum), dan lex posterior derogat legi priori (aturan yang baru mengesampingkan aturan lama). Prinsip non-retroaktif juga menjamin bahwa peraturan tidak dapat berlaku surut kecuali secara eksplisit ditentukan.

Selain asas substantif, Pasal 5 UU P3 menegaskan pentingnya asas teknis pembentukan peraturan, seperti kejelasan tujuan, pembentukan oleh pejabat yang berwenang, konsistensi sistematika, efektivitas implementasi, serta partisipasi publik. Prinsip-prinsip ini tidak hanya memperkuat legitimasi peraturan, tetapi juga mencegah pembentukan norma hukum yang bias, multitafsir, atau cacat hukum.
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan: Menjaga Tertib Norma dalam Sistem Hukum
Pilar kedua adalah struktur hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3. Urutan hierarki dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945, kemudian Ketetapan MPR, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), hingga Peraturan Daerah (Perda) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penataan ini bertujuan menjaga tertib hukum agar tidak terjadi konflik antarperaturan.
Selain peraturan yang diatur dalam hierarki utama, Pasal 8 UU P3 juga mengakui jenis peraturan lain yang dibuat oleh lembaga negara seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), serta peraturan menteri dan kepala lembaga. Meskipun tidak tercantum dalam hierarki utama, peraturan ini tetap mengikat jika dibuat sesuai kewenangan yang sah dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Untuk menjamin agar tidak terjadi penyimpangan atau inkonsistensi, sistem hukum Indonesia memberikan kewenangan pengujian konstitusional dan yudisial. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, sebagaimana disebut dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011. Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan untuk menguji peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan peraturan peradilan administratif dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah beberapa kali. Kewenangan pengujian ini menjamin keberlakuan norma hukum yang konsisten dan sesuai konstitusi.
Materi Muatan: Substansi Peraturan yang Mewakili Nilai Hukum
Pilar ketiga adalah materi muatan, yaitu isi atau substansi peraturan yang memuat norma hukum tertentu. Menurut Pasal 6 UU P3, materi muatan harus mencerminkan nilai-nilai dasar sistem hukum nasional, seperti pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kepastian hukum, serta keseimbangan. Nilai-nilai ini perlu terintegrasi dalam setiap produk hukum untuk menjamin keadilan dan legitimasi sosial.
Lebih lanjut, Pasal 10 hingga Pasal 14 UU P3 mengatur bahwa setiap jenis peraturan memiliki karakteristik materi muatan tersendiri. Undang-Undang digunakan untuk mengatur hal-hal mendasar dan berdampak luas secara nasional. Perpu dibentuk dalam kondisi genting dan memaksa. Peraturan Pemerintah (PP) menjabarkan lebih lanjut ketentuan UU, sedangkan Peraturan Presiden (Perpres) mengatur kebijakan teknis presiden. Sementara itu, Peraturan Daerah fokus pada urusan lokal berbasis otonomi, dan Peraturan Menteri bersifat teknis serta operasional dalam lingkup kementeriannya. Apabila suatu peraturan memuat materi yang tidak sesuai dengan jenisnya, maka dapat menimbulkan cacat formil dan substantif. Contohnya, apabila Peraturan Menteri memuat norma yang seharusnya diatur oleh Undang-Undang, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Agung.
Membangun Sistem Peraturan yang Sah dan Berkeadilan
Mewujudkan sistem hukum yang sah, efektif, dan adil tidak cukup hanya dengan prosedur administratif. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibentuk dengan memperhatikan tiga pilar utama: asas pembentukan yang legitim dan rasional, struktur hierarki yang konsisten, serta materi muatan yang sesuai dengan nilai hukum nasional. Ketiga pilar ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, sebab menjadi jaminan bahwa hukum bukan sekadar simbol legalitas, tetapi alat transformasi sosial yang bermakna.
Dengan kerangka hukum yang telah ditetapkan dalam UU P3, para pembentuk peraturan di tingkat pusat maupun daerah, serta seluruh pemangku kepentingan hukum, memiliki pedoman yang komprehensif untuk menghasilkan peraturan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki daya guna, hasil guna, dan legitimasi publik. Konsistensi dalam menerapkan ketiga pilar ini adalah kunci untuk membangun sistem hukum nasional yang progresif.
Referensi
Ammann, O., & Boussat, A. (2023). The Participation of Civil Society in European Union Environmental Law-Making Processes: A Critical Assessment of the European Commission’s Consultations in Connection with the European Climate Law. European Journal of Risk Regulation, 14(2), 235–252.
Imanullah, M. A., & Satriawan, I. (2020). Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembuatan Undang-Undang Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Prosiding UMY Grace, 1(2), 265–475.
Lailam, T. (2020). Membangun Constitutional Morality Hakim Konstitusi di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(4), 511. https://doi.org/10.30641/dejure.2020.v20.511-530
Rossi, J., & Stack, K. M. (2023). Representative Rulemaking. Iowa Law Review, 109(1), 1–50
Baca juga: Jasa Hukum Pengujian Undang-Undang
