Negara Indonesia sebagai negara hukum yang identik dengan tradisi “civil law”, Undang-Undang memiliki peran yang cukup strategis, yakni sebagai sumber hukum sekaligus pedoman bertingkah laku warga negara yang melekat padanya hak dan kewajiban. Sudah barang tentu tugas utama dalam sistem hukum demikian adalah memastikan ketersediaan produk hukum yang benar-benar merepresentasikan kepentingan publik. Hal tersebut menjadi sangat penting untuk menjamin legitimasi dan efektivitas suatu produk hukum yang dirumuskan oleh legislastor (DPR dan Presiden).
Autocratic Legalism dan Tantangan Pembentukan Hukum
Fakta kemunduran indeks demokrasi Indonesia sejak 2020-2023 hingga pada kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia dikategorikan sebagai demokrasi yang cacat sudah seharusnya menjadi ancaman serius dalam hal pembentukan undang-undang. Demikian karena pembajakan terhadap demokrasi berpotensi melahirkan gejala autocratic legalism. Kim Lane Schappele menjelaskan autocratic legalism sebagai praktik dari para pemimpin yang dipilih secara demokratis menggunakan mandat demokrasi untuk merubah sistem konstitusi dan hukum dengan tujuan mengkonsolidasikan kekuasaan dan kepentingan politiknya. Dalam kondisi demikian, suatu pelenggaran (abuse) yang terjadi seolah-olah dibenarkan oleh hukum karena secara substansial telah diakomodasi dalam aturan yang demokratis. Secara praktis, Javier Corrales (2015) menyoroti gejala autocratic legalism di Venezuela memiliki 3 element kunci; “the use, abuse, and non-use” . Artinya, dalam penyelenggaran sistem ketatanegaraan, “the use” dipahami sebagai suatu praktik dalam bernegara menggunakan undang-undang atau hukum sebagai instrumen yang melegitimasi kepentingan kelompok atau politik semata. Sedangkan “abuse” dapat dipahami sebaga praktik penyelenggaraan negara dengan menggunakan undang-undang namun menyalahi prinsip-prinsip dan asas legislasi yang baik. Elemen yang terakhir “non-use” merupakan praktik penyelenggaraan negara tanpa adanya payung hukum yang melegitimasinya
Gejala Autocratic Legalism
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, gejala autocratic legalism secara faktual menjadi isu yang cukup layak diperbincangkan. Terlebih masifnya praktik pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh legislator menunjukan adanya pengabaian terhadap esensi legislasi yakni partisipasi publik. Proses deliberasi publik dalam pembentukan undang-undang sudah seharusnya menjadi kunci untuk menggapai legitimasi dan efektivitas hukum. Kenyataannya, tidak sedikit praktik pembentukan undang-undang yang hanya menjadikan esensi tersebut sebatas formalitas sehingga pembentukan undang-undang terkesan ugal-ugalan dan cukup cepat. Sebagaimana pada revisi UU KPK yang hanya membutuhkan waktu 12 haru untuk disahkan,3 UU Cipta Kerja dengan muaan 1.203 Pasal dari 79 undang-undang yang bervariatif hanya 167 hari,4 dan masih banyak contoh seputar praktik legislasi cepat yang telah diterapkan di Indonesia seperti revisi UU MK, pembentukan UU IKN dan lain sebagainya.
Peran Masyarakat dalam Pembentukan Kebijakan
Berdasarkan fakta tersebut, menjadi penting untuk meninjau kembali konsistensi aturan hukum pembentukan undang-undang serta komitmen pemerintah dalam proses legislasi dalam rangka menjami kualitas partisipasi publik dalam legislasi Indonesia. karenanya, penguatan konsep partisipasi publik dengan meningkatkan derajat tingkatan sebagaimana menurut Sherry R. Arnstein perlu menjadi pertimbangan. Demikian dimaksudkan agar legislasi tidak menempatkan proses partisipasi hanya sebagai partisipasi semu atau bahkan formalitas (tidak partisipatif). Setidaknya, terdapat beberapa alasan perlunya peran serta masyarakat dalam pembentukan kebijakan, sebagaimana Lothar Gundling mengemukannya;
1) memberi informasi kepada pemerintah;
2) meningkatkan keesediaan masayarakat untuk menerima keputusan;
3) membantu perlindungan hukum;
4) mendemokratiskan pengambilan keputusan.
Hal tersebut penting dalam rangka mencapai tujuan dasar dari partisipasi, yakni menghasilkan persepsi dan masukan masyarakat yang berkepentingan
Setidaknya, terdapat beberapa alasan perlunya peran serta masyarakat dalam pembentukan kebijakan, sebagaimana Lothar Gundling mengemukannya;
1) memberi informasi kepada pemerintah;
2) meningkatkan keesediaan masayarakat untuk menerima keputusan;
3) membantu perlindungan hukum;
4) mendemokratiskan pengambilan keputusan. Hal tersebut penting dalam rangka mencapai tujuan dasar dari partisipasi, yakni menghasilkan persepsi dan masukan masyarakat yang berkepentingan
Nur Aji Pratama, S.H.
Referensi
Delvina Gusman, Kajian Ontologi Problematika Pembentukan Undang-Undang di Indonesia Dikaitkan Dengan Kebutuhan Hukum Masyarakat, Unes Journal of Swara Justisia, vol. 6 no. 4 (Januari 2023): 368-382.
Kim Lane Scheppele, “Autocratic Legalism”, The University of Chicago Law Review, vol. 85, no. 2 (2018): 545.
Lulu Anjarsari, Ketika Konstitusionalitas Revisi UU KPK Dipertanyakan (Majalah Konstitusi, no. 160, Juni 2020), 14-17.
Ni’matul Huda, Politik Hukum dan Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2023), 118-124.
Baca juga: Beracara di Mahkamah Konstitusi