Larangan ekspor mineral mentah di Indonesia menjadi kebijakan monumental yang memunculkan dua kutub tajam dalam wacana hukum dan ekonomi. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah visioner untuk memperkuat hilirisasi industri dan mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran akan lemahnya tata kelola dan potensi korupsi di sektor pertambangan, yang selama ini dikenal sebagai ladang empuk bagi praktik oligarki dan penyalahgunaan kewenangan. Dengan meninjau dari sudut pandang hukum tata negara, hukum administrasi, dan prinsip good governance, artikel ini berupaya mengkaji secara komprehensif dinamika larangan ekspor mineral mentah, serta tantangan dan peluang yang menyertainya
Hilirisasi Tambang dan Amanat Konstitusi: Mendorong Kedaulatan Ekonomi Nasional
Kebijakan larangan ekspor mineral mentah secara yuridis memiliki landasan konstitusional yang kuat, terutama pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam doktrin negara kesejahteraan (welfare state), negara tidak hanya bertindak sebagai pengatur, tetapi juga sebagai aktor aktif dalam pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Hilirisasi industri tambang, melalui kebijakan larangan ekspor ini, bertujuan agar mineral seperti nikel, tembaga, dan bauksit tidak lagi dijual dalam bentuk mentah, melainkan diproses terlebih dahulu di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah nasional.
Per 10 Juni 2023, larangan ini resmi berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17 Tahun 2022. Pemerintah juga memberikan relaksasi terbatas kepada lima perusahaan, termasuk Freeport dan Amman Mineral, yang tengah membangun fasilitas pemurnian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertambangan menyumbang 18,22% dari total ekspor Indonesia pada Januari–Agustus 2024, menandakan pentingnya sektor ini bagi perekonomian. Namun pertanyaannya, apakah kebijakan ini akan benar-benar membawa manfaat luas atau justru mempertegas ketimpangan dan dominasi oligarki?
Tata Kelola Lemah dan Celah Korupsi: Ancaman terhadap Prinsip Good Governance
Dari perspektif hukum administrasi dan hukum pidana ekonomi, pelaksanaan kebijakan ini tidak bebas dari risiko struktural. Studi kasus korupsi pada PT Timah Tbk, dengan kerugian negara hingga Rp271 triliun akibat tambang ilegal pada 2015–2022, menjadi bukti lemahnya sistem pengawasan negara terhadap sektor ini. Hal ini bukan hanya mencederai keuangan negara dan lingkungan, tetapi juga merusak integritas hukum dan kepercayaan publik terhadap kebijakan publik.
Transparency International Indonesia mencatat bahwa praktik korupsi di sektor pertambangan sering terjadi melalui skema legal formal yang disalahgunakan elite politik dan pemodal. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2024 berada di angka 37, menandakan bahwa potensi penyalahgunaan kebijakan masih tinggi. Dalam konteks ini, larangan ekspor mineral mentah dapat menjadi instrumen state capture, di mana kebijakan publik digunakan untuk menguntungkan kepentingan privat. Ketika rakyat tidak dilibatkan secara aktif dalam pengambilan kebijakan strategis ini, maka kebijakan itu tidak hanya cacat demokratis, tetapi juga cacat legitimasi konstitusional.
Reformasi Tata Kelola, Transparansi, dan Pemerataan Manfaat
Agar larangan ekspor mineral mentah benar-benar menjadi kebijakan berkeadilan, negara harus melakukan reformasi hukum dan kelembagaan secara menyeluruh. Pertama, perlu ada transparansi total dalam sistem perizinan pertambangan dan pembangunan smelter. Sistem digitalisasi izin dan audit independen perlu diterapkan untuk menutup celah manipulasi. Kedua, negara harus memastikan partisipasi masyarakat sipil dan masyarakat hukum adat, terutama di wilayah-wilayah penghasil tambang, sesuai dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui dalam hukum internasional. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) ditegaskan dalam Pasal 6 dan Pasal 15 Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku di Negara-Negara Merdeka, yang mengharuskan negara untuk berkonsultasi secara beritikad baik dengan masyarakat adat sebelum menyetujui eksplorasi atau eksploitasi sumber daya di wilayah mereka. Selain itu, Pasal 32 ayat (2) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) memperkuat prinsip ini dengan mewajibkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (free, prior, and informed consent) sebelum dimulainya proyek pembangunan apa pun di tanah atau wilayah adat. Meski belum diratifikasi dalam hukum nasional, FPIC telah menjadi standar etika internasional yang banyak dirujuk dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dan kebijakan lingkungan di Indonesia.
Ketiga, pemerintah harus menerapkan regulasi insentif dan redistribusi fiskal yang adil untuk daerah penghasil tambang agar pemerataan ekonomi dapat dicapai. Jika tidak, maka hilirisasi hanya akan menjadi kendaraan baru akumulasi kekayaan bagi konglomerat tambang, bukan alat untuk menyejahterakan rakyat. Reformasi pengawasan dan penguatan penegakan hukum atas pelanggaran administratif dan pidana juga harus menjadi prioritas hukum dalam pelaksanaan kebijakan ini

Hilirisasi Tanpa Tata Kelola adalah Ilusi Kedaulatan
Sebagai kebijakan publik, larangan ekspor mineral mentah mencerminkan niat baik negara untuk mandiri secara ekonomi dan menghentikan ketergantungan pada ekspor bahan mentah bernilai rendah. Namun dari sudut pandang hukum, kebijakan ini harus dipastikan selaras dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tanpa tata kelola yang kuat dan penegakan hukum yang adil, hilirisasi berpotensi berubah menjadi jargon politik belaka—menyuburkan korupsi, memperparah ketimpangan, dan merusak legitimasi negara di mata rakyat.
Referensi
Nugroho, A. S. (2022). Pembatasan Sebagai Solusi Pelarangan Ekspor Bahan Baku Nikel: Studi Kasus Ekspor Bahan Baku Nikel Indonesia. Jurnal Perspektif Bea Dan Cukai, 6(1), 98-113.
Syafira, A. D., Putri, C. M., Widyaningsih, E., & Kusumawijaya, P. (2023). Analisis peluang, tantangan, dan dampak larangan ekspor nikel terhadap perdagangan internasional di tengah gugatan Uni Eropa di WTO. Jurnal Economina, 2(1), 90-100.
Antara. Tempo. (2024). Kilas Balik Sektor Pertambangan 2024: Tetap Primadona sampai Kontroversi Tambang untuk Ormas Keagamaan, https://www.tempo.co/ekonomi/kilas-balik-sektor-pertambangan-2024-tetap-primadona-sampai-kontroversi-tambang-untuk-ormas-keagamaan-1187334?
Arief, Andi. M. Katadata. (2023). Ekspor Mineral Mentah Disetop Mulai Juni, Kecuali 5 Perusahaan Smelter, https://katadata.co.id/berita/energi/6474959e08e59/ekspor-mineral-mentah-disetop-mulai-juni-kecuali-5-perusahaan-smelter?
Darmawan, Sasto A. (2025). Yang Nyata Dibalik Skor Indeks Presepsi Korupsi Indonesia 2024, https://www.kompasiana.com/sastyoajidarmawan2970/67ac149aed641541b46b6b32/yang-nyata-dibalik-skor-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2024
Kementerian ESDM. (2024). Pemilik Cadangan Nikel dan Bauksit Terbesar di Dunia, Ini Yang Dilakukan Indonesia, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pemilik-cadangan-nikel-dan-bauksit-terbesar-di-dunia-ini-yang-dilakukan-indonesia?
Rizkia, Riana. SindoNews. (2024). Kasus Korupsi Izin Tambang Timah Rugikan Lingkungan hingga Rp271 Triliun, https://nasional.sindonews.com/read/1324889/13/kasus-korupsi-izin-tambang-timah-rugikan-lingkungan-hingga-rp271-triliun-1708390932
Transparency International Indonesia. (2024). Pengawasan Lemah Picu Korupsi Sektor Pertambangan, https://ti.or.id/pengawasn-lemah-picu-korupsi-sektor-pertambangan/
Baca juga: Jasa Hukum Administrasi Negara, Jasa Hukum Perdata