Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan hubungan perkawinan adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami istri saja. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami istri yang bersangkutan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami istri tersebut.
Akibat yang timbul dari pembatalan perkawinan
a. Terhadap anak
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan; Keputusan tidak berlaku surut terhadap; Anak anak yang lahir dari perkawinan tersebut; Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik
b. Terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan
Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya. Bagi harta kekayaan bersama (gono-gini) merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga-bunga harus ditanggung. Harta-harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beri’tikad baik tidak boleh dirugikan, sedangkan harta kekayaan yang beri’tikad baik bila ternyata dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang beritikad buruk. Dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beri’tikad baik harus dianggap tidak pernah ada
c. Terhadap orang ketiga
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap pihak ketiga yang beri’tikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami istri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami istri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beri’tikad baik tidak dirugikan
Andika Dwi Amrianto, S.H., C.Me
Referensi
Roihan A. Rasyid, 2007, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia.
Baca juga: Jasa hukum pembatalan perkawinan, perceraian menurut pandangan hukum